Asas Legalitas masih harus dipandang perlu eksistensinya dalam
sistem Hukum Pidana Indonesia, hal ini disebabkan selain adanya suatu
kepastian hukum, juga menghindari adanya suatu bentuk
kesewenang-wenangan dari aparatur penegak hukum maupun penguasa dalam
konteks yang lebih luas. Untuk mempertegas permasalahan di atas yaitu
apabila terjadi pertentangan mana yang didahulukan antara kepastian
hukum dan keadilan, perlu saya tulis bunyi pasal 12 draft RUU KUHP
2005-2006 yang kurang lebih berbunyi ” Dalam mempertimbangkan hukum yang
diterapkan, hukum sejauh mungkin menerapkan keadilan di atas kepastian
hukum”. RUU KUHP mungkin kedepan bisa di jadikan guidance (penunjuk)
apabila ada dilemma pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.
Hal itu haruslah diperhatikan karena sering kali keadilan terdesak, maka
apabila keadilan dan kepastian hukum saling mendesak maka hakim sejauh
mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum. Karena muara
akhir dari tujuan hukum adalah keadilan social.
Tujuan hukum adalah keadilan namun konsep keadilan itu
tersendiri memiliki beberapa pandangan dari beberapa teoritikus hukum,
namun kita harus mengerti bahwa dalam konsep negara hukum apalagi dalam
pandangan aliran positifistik dimensi sosiologis hukum menjadi kurang
perhatian artinya hubungan bagaimana norma hukum itu bekerja dalam ranah
sosial tidak menjadi urusan dan apa konsekuensi sosial dari berlakunya
norma hukum juga bukan menjadi point karen itu ranah sosial bukan ranah
hukum itu sendiri.
yang menjadi masalah adalah pandangan yang kurang memahami hukum dan mengambil dimensi sosial bahkan sosiologi dan antropologi sebagai miskroskop untuk membedah hukum tapi kita sadari labnya hukum adalah masyarakat namun kurang tepat apabila dimensi sosiologi dan antropologi mendasari hukum yang bersifat positif mungkn untuk hukum adat dapat kita terima
yang menjadi masalah adalah pandangan yang kurang memahami hukum dan mengambil dimensi sosial bahkan sosiologi dan antropologi sebagai miskroskop untuk membedah hukum tapi kita sadari labnya hukum adalah masyarakat namun kurang tepat apabila dimensi sosiologi dan antropologi mendasari hukum yang bersifat positif mungkn untuk hukum adat dapat kita terima
Keadilan sosial
Keadilan hukum berbicara tentang penghukuman pelaku kejahatan.
Keadilan sosial berbicara tentang kesejahteraan seluruh rakyat dalam
negara merdeka. Keadilan yang bisa diperoleh melalui pengadilan
formal di mana saja disebut “keadilan hukum.” Keadilan hukum itu cukup
sederhana, yaitu apa yang sesuai dengan hukum dianggap adil sedang yang
melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi pelanggaran hukum,
maka harus dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal
terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut
“kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan
pemulihan keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang
melakukan pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut.
Dengan demikian, keadilan hukum itu sangat sempit dan memiliki
kelemahan. Misalnya, untuk kejahatan-kejahatan berat jika yang
ditegakkan keadilan hukum saja, yang terjadi hanyalah para pelaku di
hadapkan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman sesuai ketentuan hukum yang
berlaku. Misalnya orang-orang yang paling bertanggungjawab akan dihukum
seumur hidup, pelaksana di lapangan sepuluh tahun, dan sebagainya.
Tetapi keadaan para korban akan tetap saja. Orang-orang yang diperkosa
tetap dalam penderitaan batin.
Mungkin karena menyadari kelemahan tersebut, ada upaya pemikiran
dalam keadaan tertentu mempertimbangkan kan “keadilan sosial” sebagai
pengganti keadilan hukum. Padangan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa
pengadilan internasional itu memakan biaya yang sangat besar.
Pengertian keadilan sosial memang jauh lebih luas daripada keadilan
hukum. Keadilan sosial bukan sekadar berbicara tentang keadilan dalam
arti tegaknya peraturan perundang-undangan atau hukum, tetapi berbicara
lebih luas tentang hak warganegara dalam sebuah negara. Keadilan sosial
adalah keadaan dalam mana kekayaan dan sumberdaya suatu negara
didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat. Dalam konsep ini
terkadung pengertian bahwa pemerintah dibentuk oleh rakyat untuk
melayani kebutuhan seluruh rakyat, dan pemerintah yang tidak memenuhi
kesejahteraan warganegaranya adalah pemerintah yang gagal dan karena itu
tidak adil.
Dari perspektif keadilan sosial, keadilan hukum belum tentu adil.
Misalnya menurut hukum setiap orang adalah sama, tetapi jika tidak ada
keadilan sosial maka ketentuan ini bisa menimbulkan ketidakadilan.
Misalnya, karena asas persamaan setiap warganegara setiap orang
mendapatkan pelayanan listrik dengan harga yang sama. Tetapi karena
adanya sistem kelas dalam masyarakat, orang kaya yang lebih bisa
menikmatinya karena ia punya uang yang cukup untuk membayar, sedangkan
orang miskin tidak atau sedikit sekali menikmatinya.
Menurut keadilan sosial, setiap orang berhak atas “kebutuhan manusia
yang mendasar” tanpa memandang perbedaan “buatan manusia” seperti
ekonomi, kelas, ras, etnis, agama, umur, dan sebagainya. Untuk mencapai
itu antara lain harus dilakukan penghapusan kemiskinan secara mendasar,
pemberantasan butahuruf, pembuatan kebijakan lingkungan yang baik, dan
kesamaan kesempatan bagi perkembangan pribadi dan sosial. Inilah tugas
yang harus dilaksanakan pemerintah.
Apakah Indonesia memerlukan keadilan hukum atau keadilan sosial.
Keadilan hukum, yaitu pengadilan dan penghukuman bagi para pelaku
kejahatan di masa pendudukan militer Indonesia diperlukan agar tragedi
kekerasan seperti itu tidak terulang lagi. Agar tidak ada orang atau
kelompok yang melakukan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya.
Sedang keadilan sosial diperlukan agar para korban khususnya, dan
seluruh rakyat umumnya, bisa membangun hidup baru yang tidak hanya tanpa
kekerasan tetapi juga tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar
sebagai manusia maupun kebutuhan lain yang diperlukan untuk meningkatkan
Asas legalitas formal dan asas legalitas materiil
Prinsip “Legality” merupakan konsep dasar, baik ia dikemukakan oleh
“Rule of Law” – konsep, maupun oleh faham “Rechstaat” dahulu, maupun
oleh konsep “Socialist Legality”. Indonesia dewasa ini masih berpegang
teguh dengan asas legalitas, walaupun asas legalitas sering mengabaikan
keadilan hukum.
Pasal 1 ayat 1 KUHPidana memuat asas (beginsel) yang tercakup dalam
rumus (formule) : nullum dellictum, nulla poenasiene lege poenali, yaitu
tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahuklu
menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai delik dan memuat suatu
hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu. Pada mulanya saya respek
dan sempat kaget terhadap pasal ini karena menurut saya yang baru
belajar hukum pidana pasal ini hampir mirip dengan ayat yang pernah saya
pelajari di hukum islam yang bertumpu pada ayat ” wa maa kunnaa
mu’adzibina hatta nab’atsa rasuula” ” kami (allah) tidak menjatuhkan
siksa sebelum kami mengutus seorang rasul” yang kemudian ayat ini
melahirkan kaidah fiqhiyyah ” la hukma li af’al al’uqola qobla wurudi
al-nash” (tidak ada hukum bagi orang brakal sebelum ada ketentuan
nashnya).
Terlepas dari membanding-bandingkan antara asas legalitas yang ada di
hukum islam dan KUHP, ada sedikit permasalahan ketika memahami bunyi
pasal 1 ayat 1 KUHP : Pertama, Tentang konfrontasi antara kepastian
hukum dan keadilan sosial bagi orang atau barang siapa yamg ingin
menegakkan atau menjalankan undang-undang pidana, karena pasal 1 ayat 1
merupakan tiang-tiang dari hukum pidana. Pertentangan tersebut terjadi
karena pasal 1 ayat 1 menghendaki adanya peraturan sebelum tindakan yang
dianggap melanggar hukum itu terjadi hal ini menunjukkan tentang
kepastian hukum dan mengesampingkan keadilan, hal itu disebabkan karena
proses hukum pidana bermuara pada penjatuhan pidana. Sungguh kiranya hal
ini tidak akan mencerminkan nilai-nilai keadilan bagi korban apabila
pemidanaan itu saat terpidana tersebut melakukan perbuatan, akan tetapi
aturan hukumnya yang mengancam perbuatannya belum ada.
Pasal 1 ayat 1 lebih mementingkan kepastian hukum diatas keeadilan
sosial, Jika kita berpegang secara teguh terhadap asas legalitas
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP maka pertanyaan
ini tak akan muncul, karena konsekuensinya sudah jelas, yaitu terhadap
perbuatan yang demikian tak akan ada hukumannya dan pelakunya bebas dari
jerat hukum. Pertanyaan ini menjadi lebih tajam jika dikaitkan dengan
persoalan keadilan bagi para korban kejahatan, apakah hukum akan
mengabaikan salah satu fungsinya dengan membiarkan ketidakadilan bagi
para korban dengan menguntungkan pelaku kejahatan. Perlu diingat hal itu
akan mencederai keadilan hukum yang ada di masyarakat khususnya hukum
yang hidup dalam masyarakat (The Living Law).
Sejarah dan perkembangan asas legalitas
Memaknai Asas Legalitas memang tercantum di dalam pasal 1 ayat (1)
KUHP. Kalau redaksionalitas kata-katanya asli dalam bahasa Belanda
disalin ke dalam bahasa Indonesia, makan berbunyi : ”Tiada suatu
perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Perlu pula
untuk menjadi perhatian bahwa menurut Moeljatno istilah feit itu juga
diartikan dengan kata ”peristiwa”, karena dengan istilah feit itu
mengandung suatu pengertian sebagai perbuatan yang melanggar sesuatu
yang dilarang oleh hukum pidana maupun perbuatan yang mengabaikan
sesuatu yang diharuskan. Penerapan hukum pidana atau suatu
perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan
dilakukan.
Berlakunya Hukum Pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum
pidana dari segi lain. Hazewinkel- Suringa berpendapat, jika suatu
perbuatan (feit) yang memenuhi rumusan delik yang dilakukan sebelum
berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan saja hal itu tidak
dapat dituntut tetapi untuk orang yang bersangkutan sama sekali tidak
dapat dipidana, itulah legalitas yang mengikat perbuatan yang ditentukan
secara tegas oleh undang-undang. Makna Asas Legalitas yang tercantum di
alam Pasal 1 ayat (1) KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin: ”Nullum
delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat diartikan
harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”.
Sering juga dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen sine lege stricta,
yang dapat diartikan dengan: ”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang
tegas”. Hazewinkel-Suringa memakai kata-kata dalam bahasa Belanda ”Geen
delict, geen straf zonder een voorfgaande strafbepaling” untuk rumusan
yang pertama dan ”Geen delict zonder een precieze wettelijke bepaling”
untuk rumusan kedua.
Paul Johann Aslem von Feuerbech (1775-1833), seorang pakar hukum
pidana Jerman di dalam bukunya : ”Lehrbuch des peinlichen Rechts” pada
tahun 1801 mengemukakan ajaran klasik pada permulaan abad ke sembilan
belas (Beccaria). Adagium dari von Feuerbach itu dapat dialirkan menjadi
tiga asas seperti yang dirumuskan oleh W.A. van der Donk, yaitu nulla
poena sine lege, nulla poena sine crimine, nullum crimen sine poena
legali. Ternyata pengapilkasian adaqium ini memiliki berbagai pandangan
tentang ”nulla poena sine lege”, bahwa di dalam dasar yang sama itu
disatu pihak lebih menitik beratkan kepada asas politik agar rakyat
mendapat jaminan pemerintah tidak sewenang-wenang (Monstesquieu dan
Rousseau), dan di lain pihak menitik beratkan kepada asas hukum yang
terbagi atas titik berat pada hukum acara pidana dengan maksud peraturan
ditetapkan lebih dahulu agar individu mendapat perlindungan dan para
penerap hukum terikat pada peraturan itu, dan yang paling terkenal
adalah fokus yang menitik beratkan pada hukum pidana pidana materiel
dengan maksud setiap pengertian perbuatan pidana dan pemidanaannya itu
didasarkan pada undang-undang yang ada (Beccaria dan von Feurbach).
Menurut Hazewinkel-Suringa, pemikiran yang terkandung di dalam
rumusan tersebut ditemukan juga dalam ajaran Montesquieu mengenai ajaran
pemisahan kekuasaan, bukan hakim yang menyebutkan apa yang dapat
dipidana, pembuat undang-undang menciptakan hukum. Pembuat undang-undang
tidak saja menetapkan norma tetapi juga harus diumumkan sebagai
norma-norma sebelumperbuatan. Manifestasi pertama kali di dalam
Konstitusi Amerika pada tahun 1783 dan berikutnya dan kemudian di dalam
Pasal 8 Declaration desdroits de l’homme et du citoyen tahun 1789.
Akhirnya muncul di dalam Pasal 4 Code Penal dan WvS Belanda yang
kemudian turun ke KUHP Indonesia, dan KUHP Belgia pada Pasal 2.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, Asas Legalitas dalam KUHP
Indonesia (yang berasal dari WvS. Ned.) ini sebenarnya merupakan
peraturan yang tercantum dalam Declaration Des Droits De L’Homme Et Du
Citoyen tahun 1789, yang berbunyi: ”Tidak ada orang yang dapat dipidana
selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya”. Pandangan
ini dibawa oleh Lafayette dari Amerika ke Perancis setelah ia membaca
dan mempelajari Bill of Rights Virginia tahun 1776 (Bill of Rights =
Piagam Hak Asasi Manusia). Dalam Bill of Rights hanya ditentukan, bahwa
tidak ada orang yang boleh dituntut atau ditangkap selain dengan dan
dalam peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam undang-undang. Jadi asas
ini memberikan perlindungan terhadap tuntutan dan penangkapan
sewenang-wenang.
Asas ini berasal dari Habeas Corpus Act tahun 1679 (UU. Inggris yang
menetapkan bahwa seseorang yang ditangkap harus diperiksa dalam waktu
singkat), yang pada gilirannya berasal dari Pasal 39 Magna Charta tahun
1215, yang memberikan perlindungan terhadap penangkapan, penahanan,
penyitaan, pembuangan, dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum
atau undang-undang (vogelvrij), selain dari jika dijatuhkan putusan
pengadilan yang sah oleh “orang-orang yang sederajad” dari orang yang
bebas dituntut itu.
Diketahui dalam perjalanan sejarah bahwa Belanda pun yang menganut
asas itu didalam KUHP, didalam situasi yang darurat, pernah meninggalkan
asas itu, yaitu pada tanggal 22 Desember 1943 di London saat
dikeluarkan Keputusan Luar Biasa tentang Hukum Pidana (S.d 61), mengenai
beberapa delik terhadap keamanan Negara dan kemanusiaan diberlakukan
ketentuan yang berlaku surut. Bahwa pidana mati yang tidak kenal di
dalam KUHP Belanda dapat dikenakan sebagai hukum negara dalam keadaan
darurat, sebagaimana kita kenal dengan istilah “abnormal recht voor
abnormal tijden”., walaupun menurut Pasal 1 ayat (1) KUHP di Indonesia
dianut asas legalitas, namun dahulu sewaktu masih adanya pengadilan
Swapraja dan pengadilan adat, dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 1
Drt Tahun 1951 Pasal 5 ayat (3) nurit b, hakim menjatuhkan pidana
penjara maksimum 3 (tiga) bulan dan/ atau denda paling banyak lima ratus
rupiah bagi perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
delik yang belum ada padanannya di dalam KUHP.
Penerapan asas legalitas di dalam hukum indonesia. Dari uraian di
atas dapat ditegaskan hal-hal penting yang merupakan dasar kelahiran
asas legalitas sebagai bangunan fondasi hukum:
- Asas legalitas sebgai sarana utama untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa dalam pemidanaan, maksudnya segala kewenangan penguasa harus berdasarkan peraturan perundang-undanganyang telah ditetapkan.
- Sebagai sarana kepastiam hukum bagi rakyat, hal ini berarti asas legalitas dapat menjadi sarana mewujudkan keadilan dalam pemidanaan dalam satu segi.
- Sebagai sarana pencegahan kejahatan.
Keberadaan asas legalitas khususnya formil/ hukum tertulis
menyebabkan hukum pidana dan praktek penegakanya menjadi kaku. Karena
tidak semua tindakan tercela selalu sudah ada aturan hukumnnya secara
tertulis. Keberadaanya asas legalitas secara tidak langsung akan
menyebabkan lenyapnya fakta social berupa eksistensi hukum pidana adat
yang masih dijunjung tinggi di Indonesia ini. Keberadaanya akan
menyuburkan faham individualitas yang berseberangan dengan paham
kolektifitas Perlu dipahami untuk bisa membuktikan seseorang benar-benar
telah melakukan suatu tindak pidana, pertama harus diperhatikan dahulu
perbuatan orang tersebut memang sudah ada diatur dalam hukum yang
menegaskan sebagai perbuatan tercela/terlarang.
Maksud dari ini adalah “hukum” sebagai dasar menilai perbuatan orang
tersebut adalah adakalanya bisa berupa Hukum tertulis atau Undang-undang
(berarti asas legalitas formil) tetapi juga berupa hukum tidak
tertulis( asas legalitas material) kedua, fakta menunjukkan perbuatan
orang tersebut memenuhi unsure tindak pidana sesuai dengan hukum. Namun
yang perlu digarisbawahi yaitu pemahaman tentang wujud pengertian asas
legalitas material, yang tidak kaku harus berdasarkan hukum yang
tertulis saja.
Tampaknya sas legalitas materiel mengakui keberadaan hukum adat atau
bahkan hukum yang tidak tertulis. Wet Boek van Strafrecht (WvS)
merupakan peninggalan colonial Belanda, sehingga dalam pelaksanaannya
memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Di antaranya
terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen dengan
menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang.
Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini
ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa
yang disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Tetapi ternyata
pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri
yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur
dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan
pemidanaannya. Sebagai peraturan peninggalan Belanda, asas legalitas
kemudian menjadi problem dalam penerapannya. Asas legalitas dihadapkan
pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen.
KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan bidang
perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang,
sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu. Tetapi,
dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan pengadilan adat
memungkinkan diterapkannya pidana adat dan hukum yang hidup dalam
masyarakat (living law) walaupun tindak pidana adat itu tidak diatur
dalam KUHP. Oleh karena itu, asas legalitas dalam praktek di Indonesia
tidak diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki Pasal 1 KUHP.
Melalui asas legalitas, hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis
dan cermat. Sementara hukum yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis.
Pada dasarnya, munculnya terminologi hukum yang hidup dalam masyarakat
dalam RUHP tidak lain adalah untuk menunjuk hukum selain hukum yang
dibentuk oleh negara. Dengan demikian, secara kasat mata RKUHP ini
seolah membuka peluang pluralisme hukum walaupun mekanisme
penyelesaiannya tetap menggunakan peradilan pidana. asas legalitas
dihadapkan dengan pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Di
Indonesia, dapat dikatakan hukum yang tidak tertulis itu kebanyakan
adalah hukum adat.
Dalam konteks RKUHP termasuk di situ maksudnya adalah delik adat,
penyebutan delik adat atau perbuatan pidana adat adalah kurang tepat,
melainkan pelanggaran adat. Oleh karena sebenarnya yang dimaksud adalah
penyelewengan dari berbagai ketentuan hukum adat, berupa sikap tindak
yang mengganggu kedamaian hidup yang juga mencakup lingkup laku
kebiasaan-kebiasaan yang hidup berupa kepatutan dalam masyarakat. Delik
adat atau pelanggaran adat berasal dari istilah Belanda adat delicten
recht. Istilah ini tidak dikenal dalam berbagai masyarakat adat di
Indonesia. Lagi pula, hukum adat tidak membedakan antara hukum pidana
dan hukum adat. Hukum pelanggaran adat dimaknai sebagai aturan-aturan
hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang
berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu
diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu. Di
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dipakai kata-kata “perundang-undangan
pidana” bukan undang-undang pidana, ini berarti bukan undang-undang
dalam arti formal saja, tetapi juga meliputi semua ketentuan yang secara
materiel merupakan undang-undang seperti Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Peraturan Daerah dan lain-lain peraturan yang
memiliki perumusan delik dan ancaman pidana, baik yang masuk dalam
lingkup Hukum Perdata maupun Hukum Administrasi (Civil Penal Law dan
Administrative Penal Law). Perlu pula untuk dikemukakan mengenai adanya
pemdapat para pengarang yang pro dan kontra terhadap eksistensi asas
legalitas tersebut di dalam KUHP Indonesia.
Kontroversi menjadi sering mencuat dipermukaan tentang berbagai
masalah tersebut. Beberapa pendapat keberatan dianutnya asas tersebut di
Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya
dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut.
Begitu pula asas tersebut menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang
masih hidup dan akan hidup. Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas
tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma, karena memang
dilihat dari segi yang satu tentang hukum adat yang masih hidup.
Kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari
perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim
sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai Negara berkembang
yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering dipandang kurang
sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan.
Pengungkapan media yang berlebihan akan menibngkatkan tekanan publik
yang demikian besar. Sehingga beban kemasyarakatan dan
kenyataan-kenyataan dalam masyarakat akibat perubahan dan perkembangan
masyarakat dewasa ini khususnya di bidang hukum dan keadilan, perlu
diimbangi dengan sikap tanggap untuk lebih memantapkan prinsip “kembali
pada hukum, keadilan dan kemanusiaan” secara proposional.