Sebelum kita berbicara lebih lanjut,
ada baiknya kita selintas memahami apa sesungguhnya konsep kemiskinan,
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Konsep
“pemberdayaan” (empowerment) telah mengubah konsep pembangunan dan
sekaligus strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya di
pedesaan. Perubahan ini sering disebut orang sebagai perubahan paradigma
atau serangkaian perubahan mulai dari tataran konsep, teori,
nilai-nilai, metodologi sampai ke tataran pelaksanaannya.
Perubahan ini telah mempengaruhi isi
Laporan Indeks Pembangunan Manusia (Human Index Development) yang setiap
tahun dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Organisasi
ini menyatakan “pembangunan seharusnya dianyam oleh rakyat bukan
sebaliknya menjadi penonton pembangunan dan seharusnya pula pembangunan
memperkuat rakyat bukan justru membuat rakyat semakin lemah”.
Pemberdayaan
menjadi konsep kunci untuk menanggapi kegagalan pelaksanaan pembangunan
selama ini. Sejak dicanangkan konsep pembangunan pada akhir masa
perang dunia kedua, ternyata pembangunan membuat orang semakin miskin
atau jumlah orang miskin semakin banyak. Gagasan modernisasi pun rontok
karena tidak mampu meneteskan hasil- hasil pembangunan kepada kelompok
masyarakat termiskin, pun semakin diakui bahwa pemerintah ternyata tidak
mampu mengentaskan kemiskinan dan konyolnya pembangunan juga merusak
lingkungan hidup.
Sedangkan
Chambers (1983) berpandangan kemiskinan umumnya ditandai oleh isolasi –
berlokasi jauh dari pusat-pusat perdagangan, diskusi dan informasi,
kurangnya nasehat dari penyuluh pertanian, kehutanan dan kesehatan serta
pada banyak kasus juga ditandai dengan ketiadaan sarana bepergian.
Kelompok masyarakat miskin amat rentan karena mereka tidak memiliki
sistem penyangga kehidupan yang memadai. Kebutuhan kecil dipenuhi dengan
cara menggunakan uangnya yang sangat terbatas jumlahnya, mengurangi
konsumsi, barter, pinjam dari teman dan pedagang. Mereka juga mengalami
ketidakberdayaan yang ditandai dengan diabaikannya mereka oleh hukum,
ketiadaan bantuan hukum bagi mereka, kalah dalam kompetisi mencari kerja
dan mereka pun tidak memperoleh pelayanan publik yang optimal.
Kemiskinan
kemudian lebih ditafsirkan sebagai suatu kondisi ketiadaan akses pada
pilihan-pilihan dan hak-hak yang seharusnya melekat di bidang sosial,
politik, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidup.
Dalam
pengertian yang lebih generik, pemberdayaan komunitas berarti penguatan
makna dan realitas dari prinsip-prinsip inklusivitas (seperti bagaimana
melibatkan para pihak yang relevan dalam suatu proses), transparansi
(keterbukaan), akuntabilitas (yang memberikan legitimasi pada setiap
proses pengambilan keputusan). Konsep ini melampaui hiruk pikuk masalah
pembangunan dan demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan partisipasi tetapi
bagaimana memberikan kesempatan pada anggota komunitas (termiskin,
terpinggirkan) untuk memahami realitas lingkungannya (sosial, politik,
ekonomi, politik, dan kebudayaan) dan merefleksikan faktor-faktor yang
membentuk lingkungan mereka dan menentukan langkah- langkah perubahan
untuk memperbaiki situasi mereka.
Pemberdayaan
sebagai strategi pengentasan kemiskinan harus menjadi proses
multidimensi dan multisegi yang memobilisasi sumberdaya dan kapasitas
masyasrakat. Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi menjadi sesuatu
yang teoritis melainkan menjadi alat untuk memutar-balikkan proses
pemiskinan. Menemu kenali elemen-elemen atau kondisi yang dibutuhkan
bagi pemberdayaan menjadi kebutuhan utama dalam memahami manifestasi
konkrit pemberdayaan di tingkat basis. Elemen- elemen pemberdayaan
termasuk diantaranya, Swadaya dan otonomi lokal dalam proses pengambilan
keputusan masyarakat di tingkat desa, dan partisipasi demokrasi
langsung dalam proses kepemerintahan representatif yang lebih luas. Ini
akan memungkinkan masyarakat menggunakan kapasitasnya untuk
memanfaatkan jasa informasi, berlatih memikirkan masa depan, melakukan
eksperimen dan inovasi, berkolaborasi dengan orang lain, dan
mengeksploitasi kondisi-kondisi serta sumberdaya-sumberdaya baru;
Penyediaan ruang bagi masyarakat untuk menegaskan kebudayaan serta
kesejahteraan spiritualnya, dan pembelajaran sosial yang bertumpu pada
pengalaman, termasuk pengungkapan dan penerapan kearifan lokal, di
samping pengetahuan teoritis dan ilmiah; Akses terhadap tanah dan
sumberdaya lainnya, pendidikan untuk perubahan, dan fasilitas perumahan
serta kesehatan; Akses terhadap pengetahuan dan ketrampilan (dari dalam
maupun dari luar) untuk mempertahankan kekayaan alam secara konstan dan
kapasitas alam menerima buangan; kedua, akses terhadap latihan
ketrampilan, tehnik- tehnik pemecahan masalah, dan teknologi serta
informasi tepat guna yang ada, sehingga pengetahuan serta ketrampilan
yang dimiliki bisa dimanfaatkan; dan ketiga, partisipasi dalam
proses-proses pengambilan keputusan oleh semua orang, terutama perempuan
dan kelompok-kelompok yang pinggiran. Elemen-elemen pemberdayaan di
atas merupakan apa yang dibutuhkan untuk memungkinkan terjadinya
perubahan.
Pembangunan yang
bertumpu pada komunitas hendaknya berakar pada prinsip-prinsip berikut,
kedaulatan, kebebasan, dan demokrasi melalui partisipasi politik yang
luas. Komunitas lokal mengontrol sendiri sumberdayanya dan memiliki
akses memadai pada informasi. Membangun suatu sistem nilai yang
konsisten sesuai dengan perikehidupan komunitas dan hubungan mereka
dengan alam dan sumberdayanya. Membangun semangat gotong royong di
antara anggota komunitas untuk membangun masa depan bersama.
Pemberdayaan
pada akhirnya memberikan kepada komunitas yang paling miskin dan
terpinggirkan kapasitas yang sesungguhnya agar mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan lingkungan baik sebagai masyarakat maupun komunitas.
Transisi ini membutuhkan kesadaran sosial, partisipasi sosial yang lebih
tinggi, pemanfaatan pemahaman baru atas proses ekologi perubahan dan
pembaruan diri. Tekanan terbesar dalam proses pemberdayaan dalam
pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan adalah pemberdayaan
sosio-ekonomi, pemberdayaan politik, pemberdayaan pendidikan,
pemberdayaan teknologi dan pemberdayan kebudayaan atau spiritual.
Pemberdayaan sosio-ekonomi ini akan mendorong individu dan komunitas
memperoleh tanggung jawab bersama menentukan masa depannya dan menjadi
manajer perubahan yang diinginkan.
Kesimpulannya
pemberdayaan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan adalah
bagaimana masyarakat memiliki kapasitas untuk memanfaatkan akses dan
pilihan-pilihan seperti ruang kebudayaan dan spiritual, pengakuan dan
validasi pada pengetahuan lokal, pendapatan, kredit, informasi,
training, dan partisipasi pada proses pengambilan keputusan.
Dalam
usaha mengentaskan kemiskinan di pedesaan, selama ini telah ada tiga
strategi yakni (1) strategi pusat-pusat pertumbuhan yang mendorong
investor membangun industri di wilayah-wilayah tertentu agar generasi
pencari kerja tertarik ke pusat pertumbuhan ini, (2) strategi pemukiman
kembali, dan (3) pembangunan desa terpadu. Ketiga pendekatan ini telah
gagal melakukan pemberdayaan rakyat miskin dan mengentaskan kemiskinan.
Karena, mereka tidak memiliki suatu proses untuk belajar dari kaum
termiskin tentang kebutuhan, aspirasi dan pengetahuan mereka. Ketiga
pendekatan di muka pun gagal memberikan peluang kepada kaum miskin
masalah dasar mereka. Pemberdayaan bukan mengulang kesalahan 3 strategi
di muka!