Korupsi sebagai musuh masyarakat sudah
terpahami bersama. Akan tetapi, kenapa masih saja terjadi tindak
kejahatan luar biasa itu?
Para pakar dari berbagai bidang sudah mengemukakan opini mereka. Mereka
bicara dari berbagai sudut pandang. Mereka telah sepakat bulat bahwa
korupsi hanya memberikan dampak destruktif bagi umat manusia.
Ada kemajuan besar dalam sudut pandang terhadap korupsi. Pada dekade
70-an masih ada pakar yang memberikan argumen bahwa korupsi juga
memberikan dampak positif karena dapat memperlancar pembangunan.
Suap, sebagai salah satu bentuk korupsi, saat itu dianggap sebagai
pelicin dalam pengurusan birokrasi. Jadi, pelicin itu baik untuk
memperlancar birokrasi yang berbelit-belit.
Akan tetapi, pandangan seperti itu kini sudah dianggap konyol. Kenapa
birokrasi harus dibuat berbelit-belit sehingga harus diperlancar lewat
suap? Kesepakatan bulat bahwa korupsi harus diberantas merupakan modal
mental terpenting.
Kini kita tinggal menemukan mekanisme oprasionalnya untuk mewujudkan
bahwa korupsi benar-benar kejahatan yang harus dilibas oleh siapa pun
yang menemukannya. Setiap orang harus didorong menjadi “peniup peluit”
begitu menemukan kejahatan koruptif.
“Peniup peluit” harus dibudayakan untuk dipandang sebagai pahlawan
publik. Tidak perlu dibatasi untuk korupsi skala besar. “Peniup peluit”
di tingkat kantor kelurahan pun perlu dihargai sebagai pahlawan. Mereka
harus dilindungi dari konsekuensi ancaman koruptor yang terbongkar
kejahatannya.
Tentu pencegahan korupsi juga harus dilakukan dengan menutup
peluang-peluangnya dan melipatkgandakan efek jeranya. Sebagai
penghormatan terhadap hak asasi manusia, hukuman mati terhadap koruptor
tak perlu.
Banyak kalangan yang mengusulkan agar koruptor dihukum mati. Bagi
pengusul, hukuman mati akan membuat jera, ngeri bagi mereka yang
mencoba-coba berbuat kejahatan dana publik.
Namun, kecenderungan hukum di dunia mengarah pada penghapusan hukuman
mati. Sebagai gantinya, hukuman berupa pemiskinan dan hukuman
mempermalukan koruptor dengan kerja sosial dalam waktu lama perlu
diwujudkan.
Para pakar mengusulkan pemiskinan berupa pembayaran ganti rugi
sebanyak tiga sampai lima kali lipat dari nilai uang yang dikorupsi.
Jika seorang pejabat terbukti mengorupsi uang negara senilai Rp3 miliar,
dia harus membayar ganti rugi senilai Rp9 miliar hingga Rp15 miliar.
Itu baru ganti rugi, belum hukuman kurungan, yang diusulkan minimal 10
tahun hingga yang maksimal seumur hidup.
Masih perlu ditambah lagi kerja sosial, seperti diusulkan sosiolog
Ignas Kleden, sehingga tenaga tervonis koruptor bisa untuk kepentingan
publik. Kerja sosial harus dibatasi untuk pekerjaan yang tak diminati
orang banyak seperti membersihkan selokan dan sungai yang mampet. Dengan
hukuman berat semacam ini disertai menutup rapat peluangnya, korupsi
diharapkan akan tercegah sesegera mungkin.
Pemanfaatan kemajuan teknonologi dapat meminimalkan korupsi.
Transaksi yang serba elektronik akan menutup penyimpangan karena semua
bentuk transaksi akan terlacak lewat digitaisasi administrasi.
Transparansi tata kelola keuangan selama ini di berbagai instansi
pemerintah masih setengah-setengah. Pengumuman neraca keuangan instansi
pemerintah perlu diperbaruhi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi
informasi digital.
Jika sistem birokrasi yang didukung kemajuan teknologi sudah
terbangun, kini tinggal membangun karakter pelaku-pelaku di dalam
birokrasi itu sendiri. Dari mana mengawali membangun mentalitas manusia
yang berkarakter itu? Jika dilihat sepintas dari pengalaman sehari-hari,
watak jujur seseorang kadang terbentuk bukan semata dari pengaruh
pendidikan keluarga.
Selalu ada misteri dalam watak manusia. Seorang petani yang memiliki
10 anak, yang dibesarkan dengan pola pengasuhan dan pendidikan keluarga
yang hampir sama, ternyata meumbuhkan watak-watak yang berlainan. Ada
yang tumbuh dewasa menjadi pribadi yang berintegritas tinggi, tetapi
sebagian besar bermental dan berwatak biasa-biasa, permisif dan bisa
diajak kompromi untuk meakukan korupsi.
Di kehidupan yang serba saintifik seperti sekarang ini, mau tak mau,
korupsi sudah seharusnya diyakini oleh setiap orang sebagai kenistaan.
Apa pun kualitas dan kuantitas dari korupsi itu. Integritas harus
dijadikan ukuran dalam rekrutmen kepemimpinan birokratis.
Rekam jejak integritas seseorang memang bukan jaminan mutlak,
melainkan sedikitnya bisa jadi pemahaman semua aparat birokrasi untuk
senantiasa bertindak jujur dalam meniti karier.
Tentu korupsi yang dilakukan oleh para pejabat yang diangkat secara
politis tidak akan terpegaruh oleh sistem internal birokratis itu.
Namun, jika demokrasi riil berjalan efektif, hanya mereka yang
berintegritaslah yang akan sampai di posisi jabatan-jabatan publik yang
diraih berdasrkan pengangkatan politis.