1. Ketua Forum Redam Korupsi (FORK) Cabang Kepulauan Riau
2. Ketua Lembaga Kajian Sosial Masyarakat Cabang Kepulauan Riau
3. Koordinator Konsultasi Hukum bagi Rakyat

Sabtu, 19 Oktober 2013

Pasar Tradisional Versus Mal

Ada diktum, “kalau anda ingin memahami budaya sebuah masyarakat, kunjungilah pasarnya”. Tentu yang dimaksud pasar itu adalah pasar tradisional. Bukan swalayan, hypermart ataupun ritel-ritel modern. Diktum itu mungkin ada benarnya.
Sebab, di pasar tradisional lah kita bisa melihat secara utuh budaya masyarakat setempat. Di pasar itu lah kita bisa melihat barang apa yang dikonsumsi masyarakat dan apa yang akan mereka masak untuk keluarga mereka.
Di pasar juga lah kita bisa melihat percampuran sosial antarbudaya yang berbeda dan wujud nyata toleransi. Selain itu, di sana kita bisa melihat proses tawar-menawar barang sehingga mencapai keseimbangan harga antara pembeli dan penjual. Melihat keberadaannya itu, tak heran jika pasar tradisional dicap punya dua fungsi: rumah ekonomi dan sekaligus rumah budaya (Basri et al, 2012).
Dari fungsinya itu tercermin  kesempatan terhadap akses ekonomi. Lebih dari itu, dalam aktivitas pasar tradisional terdapat partisipasi dan kegotong-royongan yang melibatkan interaksi sosial masyarakat setempat.
Dengan demikian, pasar tradisional adalah refleksi nyata dari demokrasi ekonomi yang menjunjung tinggi prinsip equality (Firmanzah dan Halim, 2012).  Dan inilah yang sebenarnya diinginkan oleh UUD 1945 pasal 1, 2, 3, 4, dan 5.
Dalam beberapa kasus, interaksi sosial di antara mereka menimbulkan dan menguatkan modal sosial (social capital). Sederhananya, modal sosial adalah “serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara anggota masyarakat”. Kebajikan sosial seperti kejujuran, keterandalan, kesediaan bekerja sama, dan kepercayaan (trust) adalah elemen-lemen dari modal sosial (Fukuyama, 2002).
Namun kini, rumah budaya dan rumah ekonomi itu habis tergerus kemajuan ekonomi kapitalistik. Perannya lambat laun tergantikan oleh swalayan, hypermart dan ritel-ritel modern.
Hampir di setiap penjuru daerah, kita bisa menyaksikan hypermart dan ritel modern berdiri megah. Bahkan berdiri di tengah pasar tradisional.
Survey yang dilakukan AC Nielsen (2010) melaporkan bahwa tingkat pertumbuhan pasar tradisional menurun 8,01% per tahun.  Sedangkan pasar modern (hypermarket) meningkat 31,4%.
Sementara menurut kajian SMERU, terjadi peningkatan pangsa pasar supermarket terhadap total pangsa pasar industri makanan yang cukup tajam dari 11% menjadi 40%. Penjualan supermarket pun tumbuh rata-rata 15% per tahun. Sedangkan penjualan pedagang tradisional turun 2% per tahun dalam rentang 2000-2010.
Gejala Liberalisasi
Membaca data itu, pasar tradisional terpaksa berhadapan dengan pasar modern. Penentuan nasip ekonomi masing-masing pihak lantas ditentukan oleh mekanisme pasar. Yang efisien, inovatif, dan kuat modal akan menang. Di titik ini, kita sudah bisa menduga siapa yang menjadi pemenang.
Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, tanggung jawab maju-mundurnya pasar tradisional sebenarnya berada di tangan pemerintah daerah. Sebab, dalam PP. No. 38/2007 dinyatakan bahwa urusan penataan pasar dilimpahkan pada pemerintah daerah. Dan dengan demikian, pemerintah daerah berkewajiban mengurusnya.
Makanya, maraknya ritel modern dan mundurnya keberadaan pasar tradisional sebenarnya dosa pemerintah daerah. Boleh jadi liberalisasi potensi ekonomi daerah justru muncul dari daerah.
Kebijakan daerah lah yang dengan sadar ataupun tidak mendorong proses pelemahan basis ekonomi kerakyatan. Betapa tidak. Ritel modern adalah lumbung bagi pendapatan asli daerah (PAD).
Yang jadi soal bukan lah melarang setiap pihak untuk berusaha. Tetapi berusaha tanpa mengindahkan aspek regulasi dan kepentingan masyarakat banyak justru akan menimbulkan ketidakadilan. Jaminan akan keadilan dan keseimbangan persaingan inilah yang hendak kita wujudkan.
Makanya, di sinilah letak pentingnya peran pemerintah. Jaminan akan kondisi persaingan yang adil dan seimbang menjadi kewajiban pemerintah untuk menciptakannya.
Tidak mudah memang mengambil keputusan di tengah pilihan mempertahankan eksistensi toko-toko kelontong di tengah godaan derasnya aliran modal skala besar. Tapi bagaimanapun, kebijakan yang berdasar pada ciri keindonesiaan yang berdemokrasi ekonomi-Pancasila, mesti menjadi pilihan.
Kongkritnya, pertama, bina pasar tradisional dengan sejumlah pola, instrumen dan strategi pemberdayaan. Hal tersebut tentu harus didekati bukan hanya dengan pendekatan struktural, tetapi juga kultural.
Sebab pendekatan struktural selama ini punya kesan buruk yang justru kontraproduktif terhadap upaya-upaya pemberdayaan. Oleh karenanya, pendekatan ini dipandang sebagai alat untuk menggusur para pedagang.
Sebaliknya, dengan pendekatan kultural maka setiap daerah berbeda perlakuannya. Sebab masing-masing daerah punya ciri khas budaya yang berbeda dengan daerah lainnya. Pendekatan ini mengadopasi nilai kebinekaan dalam praksis kebijakan.
Praktik terbaik (best practice) yang bisa menjadi contoh adalah pembinaan pedagang tradisional Kota Solo. Tetapi sekali lagi, pendekatan kultural di Kota Solo belum tentu ampuh diterapkan di daerah lain.
Oleh karena itu, pemerintah daerah setempatlah yang mengetahui pendekatan kultural seperti apa yang mampu menjawab persoalan pasar tradisional daerah mereka.
Kedua, tata ritel modern dengan pendekatan zonasi. apalagi pendekatan ini didukung oleh seperangkat regulasi.
Peran Daerah
Di level pemerintah pusat, kebijakan yang berpihak memang telah digulirkan. Yang terakhir adalah Perpres No. 112/2007 tentang Peraturan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Pembelanjaan dan Toko Modern. Namun demikian, sejumlah regulasi itu mandul.
Selain itu, lemahnya tata kelola pemerintah daeah menambah amburadul persoalan. Bentuknya adalah minimnya koordinasi antarlembaga atau dinas yang ada.
Badan perijinan investasi hanya mempertimbangkan aspek kelengkapan dokumen investasi, tanpa mempertimbangkan regulasi terkait. Sementara dinas perdagangan hanya berfokus pada penataan pasca toko ritel dibuka.
Kalaupun badan perijinan sadar bahwa ada peraturan perundangan yang harus dipatuhi oleh peritel, tampaknya mereka tutup mata. Boleh jadi tindakan itu ditempuh karena proses suap-menyuap yang terjadi di seputar perijinannya. Perselingkungan swasta-pemerintah ini pada akhirnya merusak tatanan ekonomi masyarakat.
Insentif-Disinsentif
Pertanyaannya, mengapa sejumlah regulasi yang ada lumpuh dan seolah tidak berarti apa-apa di daerah? Regulasi dibuat tapi daerah abai terhadap regulasi itu.
Tragisnya, fenomena ini hampir terjadi pada semua bidang. Akhirnya, regulasi hanya menjadi tumpukan dokumen tak berharga tanpa nyawa.
Thus, untuk itu lah kebijakan mengeluarkan regulasi mesti diiringi dengan penerapan instrumen ekonomi (economic instrument). Tanpa instrumen ekonomi, kebanyakan pemerintah daerah lebih menerapkan “kebijaksanaan” dari pada “kebijakan”.
Dalam konteks itu, Elinor Ostrom dan Oliver Williamson yang dinisbat peraih nobel ekonomi 2009 menyatakan bahwa instrumen ekonomi jadi penting dalam tata kelola ekonomi. Dan instrumen ini lah yang bisa menstimulasi pemerintah daerah menerapkan regulasi yang ada.
Jadi, instrumen ekonomi ini sebenarnya dukungan pusat kepada pemerintah daerah dalam mengembangkan pasar tradisional mereka. Bentuknya bisa bermacam-macam.
Salah satunya adalah pola insentif dan disinsentif. Dari sisi insentif, pemerintah pusat dapat mempertimbangkan bentuk insentif fiskal seperti dana transfer ke daerah. Atau nonfiskal seperti pemberian penghargaan (award) bagi pemerintah daerah yang berhasil mengembangkan pasar tradisional.
Sebaliknya, disinsentif adalah instrumen untuk mencegah atau membatasi penyimpangan dalam penerapan regulasi. Bentuknya juga bisa fiskal dan nonfiskal.
Di sisi fiskal, pengurangan dana alokasi umum (DAU) bisa menjadi pertimbangan disinsentif bagi daerah yang gagal dalam mengembangkan pasar tradisional. Sementara di sisi nonfiskal, dapat berbentuk publikasi daerah yang gagal berpihak pada pasar tradisional.
Namun demikian, kedua pola ini harus didukung dengan perangkat penegakan hukum yang tegas. Selain itu, perlu juga dibuat instrumen agar segenap masyarakat warga, khususnya pedagang tradisional bisa berpartisipasi.
Sebab mengikuti pemikiran Ostrom dan Williamson tadi, tak mungkin regulasi dan institusi-institusi ekonomi bergerak tanpa partisipasi masyarakat warga. Partipasi inilah sebenarnya makna hakiki kenapa otonomi daerah diterapkan.